Oleh: Maryam Aqilah, mahasiswi Universitas Tazkia Bogor.
”Gratis ongkir! Diskon 70%! Cashback sampai ratusan ribu!”
Kalimat-kalimat itu seringkali muncul di layar ponsel kita. Marketplace dan brand berlomba-lomba menarik perhatian lewat promo besar-besaran. Awalnya cuma ingin lihat-lihat, tapi ujungnya malah klik “checkout”. Fenomena ini bukan hal sepele, ini cerminan gaya hidup konsumtif yang makin menguat di tengah masyarakat digital.
Budaya belanja implusif kini jadi kebiasaan baru. Promo, flash sale, dan diskon seolah jadi bagian dari rutinitas hidup. Menurut data Bank Indonesia, nilai transaksi e-commerce nasional tahun 2024 mencapai lebih dari Rp500 triliun, meningkat tajam dari tahun sebelumnya. Tapi di sisi lain, utang konsumtif masyarakat juga naik. Ini artinya, banyak orang membeli bukan karena butuh, tapi karena tergoda promo.
Kita hidup di era di mana perusahaan paham betul cara memicu emosi konsumen. Warna merah pada label diskon, hitung mundur waktu promo, dan kata “stok terbatas” dirancang untuk menciptakan rasa panik dan takut ketinggalan / FOMO (fear of missing out). Alhasil, keputusan belanja sering kali diambil tanpa berpikir panjang.
Promo pada dasarnya bukan hal buruk. Dalam ekonomi, strategi potongan harga bisa membantu perputaran barang dan mendorong konsumsi. Tapi, yang jadi masalah adalah ketika promo mengendalikan perilaku kita, bukan sebaliknya.
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat konsep impulse buying, keputusan belanja spontan tanpa perencanaan. Menurut psikologi konsumen, hal ini muncul karena otak manusia lebih cepat merespons emosi daripada logika. Ketika melihat diskon besar, kita merasa seperti “menang” dan sulit menolak, meski sadar barang itu tidak terlalu penting.
Akibatnya, banyak orang terjebak dalam siklus “beli – senang – menyesal – beli lagi”. Perasaan puas dari promo hanya sementara, tapi dampak finansialnya bisa panjang. Uang habis, tabungan menipis, bahkan sebagian harus menutup kebutuhan lewat paylater atau pinjaman online.
Menjadi konsumen cerdas artinya belanja dengan kesadaran penuh. Sebelum tergoda promo, tanyakan tiga hal sederhana:
- Apakah barang ini benar-benar saya butuhkan?
- Apakah saya mampu membelinya tanpa mengorbankan kebutuhan lain?
- Apakah saya beli karena manfaatnya, atau cuma karena diskonnya?
Kalau salah satu jawabannya “tidak”, tahan dulu. Dunia tidak akan berakhir hanya karena kamu melewatkan satu promo.
Selain itu, penting juga menumbuhkan literasi finansial sejak dini. Catat pengeluaran, bedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta atur batas pengeluaran bulanan. Bila perlu, matikan notifikasi promo di aplikasi belanja dan batasi waktu scrolling. Cara kecil ini bisa bantu kamu menahan dorongan implusif yang sering jadi sumber keborosan.
Di tengah banjir promo dan godaan diskon di setiap sudut layar, kemampuan menahan diri justru jadi bentuk kecerdasan baru. Menjadi konsumen cerdas bukan berarti anti-belanja, tapi tahu kapan harus berkata “tidak” pada promo yang hanya menipu rasa. Karena pada akhirnya, promo akan datang dan pergi, tapi kendali atas diri dan dompetmu, itu tanggung jawab yang tak bisa digantikan oleh siapapun.