Oleh: Khairunnisa Abdurrahman, mahasiswi Universitas Tazkia
Keuangan digital kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mulai dari pembayaran lewat QRIS, pinjaman online, hingga investasi, semua bisa dilakukan hanya dengan sentuhan jari. Di tengah arus digitalisasi yang deras, muncul kebutuhan masyarakat muslim untuk tetap bertransaksi sesuai syariat Islam: bebas riba, adil, dan transparan. Dari situlah fintech syariah hadir — menggabungkan kemudahan teknologi dengan nilai-nilai syariah.
Ekosistem dan Realitas Saat Ini
Ekosistem fintech syariah di Indonesia tumbuh dari sinergi tiga pilar: regulator, pelaku industri, dan masyarakat pengguna. OJK bersama Bank Indonesia berperan sebagai regulator, sementara DSN–MUI mengeluarkan fatwa untuk memastikan akad-akad dalam produk fintech sesuai syariat. Di sisi industri, startup fintech syariah, bank syariah, serta platform crowdfunding hadir membawa inovasi.
Potensinya sangat besar. Dalam Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2022, OJK mencatat bahwa nilai transaksi fintech syariah diprediksi naik dari USD 4,2 miliar pada 2021 menjadi lebih dari USD 11 miliar pada 2026, dengan pertumbuhan rata-rata tahunan mencapai 21,6%. Sepanjang 2024, fintech urun dana syariah berhasil menghimpun dana lebih dari Rp1,53 triliun dari 804 proyek, melibatkan lebih dari 185 ribu investor.
Meski porsinya masih kecil dibandingkan fintech konvensional, tren ini menunjukkan minat masyarakat yang semakin besar. Terutama generasi muda, seperti Gen Z dan milenial, yang terbukti menjadi pengguna paling aktif fintech syariah karena merasa sesuai dengan gaya hidup digital mereka sekaligus selaras dengan keyakinan agama.
Tantangan Nyata
Di balik pertumbuhan positif, ada sejumlah tantangan yang masih harus dihadapi:
1. Regulasi yang belum komprehensif.
Hingga pertengahan 2023, dari lebih dari 100 platform P2P lending berizin OJK, hanya 7 platform yang beroperasi dengan model syariah. Banyak akad, terutama terkait mekanisme bagi hasil, masih membutuhkan pedoman teknis lebih jelas dari DSN–MUI.
2. Literasi keuangan syariah yang masih terbatas.
Sebagian masyarakat masih sulit membedakan antara fintech syariah dan konvensional. Akibatnya, muncul persepsi keliru yang bisa mengurangi kepercayaan terhadap produk syariah.
3. Keterbatasan modal dan skala usaha.
Sebagian besar startup fintech syariah masih kecil, dengan keterbatasan modal untuk bersaing dengan fintech konvensional yang lebih dulu besar.
Peluang Masa Depan
Meski penuh tantangan, peluang fintech syariah di Indonesia justru semakin terbuka:
- Generasi digital menjadi motor utama. Gen Z dan milenial memilih layanan yang cepat, mudah, dan sesuai nilai agama.
- Inovasi teknologi seperti blockchain dan smart contract bisa memperkuat transparansi akad, mengurangi risiko, dan membangun kepercayaan publik.
- Kolaborasi antar pihak — regulator, pelaku industri, investor, akademisi, hingga komunitas muslim — dapat mempercepat literasi sekaligus memperluas adopsi produk fintech syariah.
Kesimpulan
Fintech syariah bukan sekadar alternatif, melainkan bagian dari transformasi ekonomi digital Indonesia. Dengan dukungan regulasi yang semakin matang, inovasi produk, serta partisipasi aktif masyarakat, fintech syariah berpotensi menjadi tulang punggung inklusi keuangan nasional.
Tantangannya jelas: literasi, regulasi, dan skala usaha. Namun, jika semua pemangku kepentingan bergerak bersama, Indonesia tidak hanya bisa menjadi pasar terbesar, tapi juga pusat fintech syariah global di masa depan.
Daftar Pustaka
- Otoritas Jasa Keuangan. (2022). Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia 2022. Jakarta: OJK.
- Bisnis.com. (2025, 15 Januari). Kontribusi Fintech Urun Dana Syariah Tembus Rp1,53 Triliun Sepanjang 2024.
- Kompas.com. (2023, 29 Juni). Fintech P2P Lending Syariah Tumbuh Positif di RI