100 HARI MENUJU KOPENHAGEN Ambil Aksi Sekarang, Menunda Berakibat Bencana!

JAKARTA (RiauInfo) - Perubahan iklim tidak hanya telah mengakibatkan bencana tapi juga kerugian ekonomi, terutama bagi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang bukan penyebab masalah namun menderita dampak paling besar karena berkemampuan adaptasi minimal.
Sebagai contoh, Indonesia menjadi bagian dari negara kepulauan terbesar di dunia dengan daerah pesisir terpanjang membuat Indonesia rentan terhadap naiknya air muka laut, banjir, dan badai. "Laporan dari Institut Teknologi Bandung menyebutkan bahwa pada tahun 2050, Jakarta diprediksikan mengalami banjir hingga mencakup ± 160,4 km2 atau sama dengan 24,3% total luas kota megapolitan ini akibat kenaikan air muka laut,” jelas Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi, WWF-Indonesia. "kita bisa mengubahnya karena solusi telah tersedia. Dengan waktu yang tinggal 100 hari lagi menuju Konferensi Perubahan Iklim PBB atau UNFCCC (United Nations Framework Conventions on Climate Change) di Kopenhagen, kita harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan pembangunan yang menjamin keberhasilan ekonomi tetapi juga menurunkan emisi gas rumah kaca dan dampak negatif lingkungan lainnya, melalui penyediaan energi bersih dengan basis ekonomi kuat lewat kesepakatan perubahan iklim yang ambisius, adil, dan mengikat pada periode pasca 2012. Dengan kata lain, negara maju bersedia menurunkan emisi 40% pada tahun 2020 di bawah level emisi tahun 1990, termasuk melakukan aksi cepat untuk adaptasi perubahan iklim di negara berkembang," tambahnya. Hingga kini, walau sudah ada sedikit kemajuan namun hasil dari pertemuan-pertemuan tingkat tinggi belum seperti yang diharapkan – dalam target mitigasi, adaptasi, komitmen pendanaan dan transfer teknologi dari negara maju. Jelas bahwa dukungan kepada negosiasi yang berpihak ke negara berkembang terus dibutuhkan. Dengan target besar yang harus dikeluarkan UNFCCC di Kopenhagen, maka membangun momentum yang berasal dari publik akan sangat krusial. “Kampanye Tcktcktck – di Indonesia menjadi Kampanye Tik Tok Tik Tok – diluncurkan secara serentak di Asia Pasifik dan dipusatkan di Bangkok sebagai peringatan kepada pemimpin dunia bahwa waktu semakin sempit. Dibutuhkan ketegasan mereka untuk melindungi jutaan hidup, khususnya masyarakat miskin,” tegas Rully Prayoga, Oxfam International untuk Asia Timur dan Koordinator Global Campaign for Climate Action (GCCA) Indonesia. Melalui kampanye ini, masyarakat dapat bersama-sama memberikan suaranya kepada pemerintah untuk lebih berperan dalam negosiasi internasional dan kebijakan nasional. Arif Fiyanto, Climate & Energy Campaigner – Indonesia, Greenpeace South East Asia, mendesak, “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus segera memperbaiki kinerja yang sudah ada dalam penanganan krisis iklim, mendeklarasikan penghentian deforestasi dan kerusakan hutan, dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap energi kotor, seperti batu bara, yang merupakan sumber dominan gas rumah kaca secara global. Indonesia juga harus beralih ke pemanfaatan energi terbarukan yang aman dan ramah lingkungan," ujar Arif lagi. Dia juga menegaskan, di masa pemerintahannya yang kedua ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin negara terbesar di kawasan Asia Tenggara dan sekaligus menjadi negara yang juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dapat mengukir sejarah dengan menunjukkan kepemimpinannya dalam mengatasi krisis iklim bersama pemimpin negara di regional maupun diantara pemimpin dunia lainnya. Utamanya adalah dengan strategi pembangunan yang terkoordinasi dan berwawasan perubahan iklim, yaitu kerja sama antar sektoral, seperti ekonomi, perdagangan, kehutanan, pertanian, perikanan, dan pekerjaan umum, agar bersama-sama membuat upaya adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia.(ad/rls)

Berita Lainnya

Index